BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berita tentang perkawinan seseorang seharusnya adalah merupakan hal yang menggembirakan untuk setiap orang yang akan menikah. Hal itu menjadi sangat kompleks ketika pasangan yang akan menikah menyadari arti, hakikat, dan tanggung jawab yang akan segera mereka emban baik selama proses persiapan pernikahan itu sendiri maupun setelah mereka resmi menjadi sepasang suami istri.
Bagaimana suatu pasangan yang akan menikah ataupun bahkan yang telah bertahun-tahun menikah dapat berpisah dan dalam beberapa kasus bahkan menjadi perdebatan dan permusuhan yang sengit antar kedua belah pihak. Jawabannya hanya akan dapat diketahui dengan mempelajari asas-asas hukum pernikahan itu sendiri sebelum praktek terjun langsung ke lapangan pernikahan masing-masing.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam beberapa kasus, hal-hal yang menyangkut hukum perkawinan sering kali kurang dipahami sebagai sesuatu yang penting sebagai modal untuk menjalani hidup berpasang-pasangan di suatu Negara. Sejauh pengamatan kami hal itulah yang menjadi tumpahnya beberapa kasus dalam suatu rumah tangga. Disini kami sebagai mahasiswa mencoba menyingkap kasus-kasus yang terjadi dalam perkawinan untuk dibahas melalui sudut pandang hukum perkawinan itu sendiri.
Materi pembelajaran yang menjadi tugas kelompok kami ini pun kami rasa sangat dekat dengan kehidupan keseharian kami. Baik itu menyangkut hubungan pernikahan orang tua kami ataupun diri kami sendiri yang akan menjalani hubungan pernikahan itu kelak.
1.3 Tujuan penelitian
Sakralnya pernikahan adalah hal yang coba untuk dipertahankan, maka dari itu penelitian tentang hukum pernikahan pun menjadi sesuatu yang menarik untuk dibahas lebih lanjut. Pernikahan yang sacral sepanjang masa kehidupan pasangannya hanya dapat terjadi jika kedua belah pihak mengerti, menyadari dan mengamalkan asas-asas hukum pernikahan yang berlaku di Negara tempatnya berada yang dalam hal ini dimaksudkan adalah Indonesia.
Terciptanya suatu hubungan pernikahan yang harmonis juga merupakan tujuan kami yang umum dari pembahasan materi tentang hukum pernikahan ini.
1.4 Manfaat penulisan
Pembuatan tugas kami ini sedikit banyak telah mempengaruhi pola pikir dan pengetahuan kami tentang hal-hal yang berhubungan dengan seluk beluk hukum pernikahan terutama di Indonesia secara umum maupun hukum pernikahan menurut agama.
Kepekaan kami terhadap masalah-masalah dan juga penyimpangan dalam pernikahan pun sedikit demi sedikit mulai terasah. Pembelajaran studi kasus merupakan hal yang cukup nyata mengajarkan kepada kami tentang kekompleksan masalah dalam perkawinan.
Atas manfaat yang kami dapat dari hasil penulisan tentang hukum perkawinan ini, kami harap teman-teman yang lain pun dapat mengambil manfaat yang sama dengan kami. Diharapkan pengertian tentang hukum perkawinan menjadi hal yang jelas untuk dipahami sebagai materi dari proses pembelajaran dan lebih lanjutnya bermafaat untuk kehidupan kita masing-masing saat akan menghadapi suatu hubungan pernikahan kelak.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hukum Perkawinan
Perkawinan merupakan pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.
Menurut Dr. Anwar Haryono, S.H. dalam bukunya Hukum Islam mengatakan: “Pernikahan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia”. Ataupun juga menurut Sajuti Thalib, S.H. dalam bukunya Hukum Keluarga Indonesia mengatakan: “Perkawinan itu ialah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan”.
Sehingga berdasarkan teori di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa Perkawinan itu tidak hanya merupakan ikatan lahir saja atau ikatan bathin saja, akan tetapi ikatan kedua-duanya.
2.1.1 Hukum Pekawinan di Eropa
Peraturan-peraturan hukum yang mengatur perbuatan hukum serta akibat-akibatnya dari dua belah pihak, yaitu seorang lelaki dengan seorang wanita hidup bersama dalam waktu yang lama.
2.1.2 Hukum Perkawinan Indonesia Berdasarkan UU No.1 Tahun 1974
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Dalam penjelasannya dinyatakan:
Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkaawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.
Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dn kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.
2.1.3 Sistematik dan Isi Pokok Undang-undang Perkawinan Tahun 1974
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan oleh
Presiden pada tanggal 2 Januari 1974 dan diundangkan dalam Lembaran
Negara Tahun 1974 No.1 dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara No. 2019.
UUP ini mempunyai sistematik sebagai berikut:
a. Konsiderans, yang terdiri dari: Dasar pertimbangan dan dasar hukum.
b. Diktum: Memutuskan dan menetapkan Undang-undang tenteng
perkawinan.
c. Batang tubuh atau isi Undang-undang Perkawinan yang terdiri dari 14 Bab.
d. Penjelasan Undang-undang Perkawinan yang terdiri dari penjelasan umum dan penjelasan
pasal demi pasal.
Konsiderans UU No. 1 Tahun 1974:
a. Dasar Pertimbangan
Untuk mengeluarkan UUP harus sesuai dengan Falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang perkawinan yang berlaku bagi semua Warga negara Indonesia.
b. Dasar Hukum Penyusunan UUP
Peraturan-peraturannya yaitu:
1) UU 1945
a) Pasal 5 ayat 1
b) Pasal 20 ayat 1
c) Pasal 27 ayat 1
d) Pasal 29 ayat 1 dan 2
2) Ketetapan MPR No.IV/MPR/1973 tentang Garis Besar Haluan Negara, antara lain:
a) Landasan
b) Modal Dasar
c) Agama dan Kepercayaan
d) Pembinaan Keluarga Sejahtera
e) Hukum
Hukum Perkawinan di Indonesia:
a.Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku
hukum agama yang telah diresiplir dalam hukum adat.
b.Bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku hukum adat.
c.Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijksordonantie
Christen Indonesia.
d.Bagi orang Timur Asing Cina dan warganegara Indonesia keturunan Cina berlaku
ketentuan-ketentuan kitab UU Hukum Perdata dengan sedikit perubahan.
e.Bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan warganegara Indonesia keturunan Timur
Asing lainnya tersebut berlaku Hukum Adat mereka.
f.Bagi orang-orang Eropa dan Warganegara Indonesia keturunan Eropa yang disamakan
dengan mereka berlaku Kitab UU Hukum Perdata.
2.1.4 a. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri harus saling melengkapi dan membantu untuk mencapai suatu rumah tangga yang harmonis dan masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual maupun material.
b. Keabsahan Perkawinan
Perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tidaklah hanya sekedar sebagai suatu perbuatan hukum yang menimbulkan akibat-akibat hukum,tetapi juga merupakan perbuatan keagamaan, sehingga sah atau tidaknya perkawinan ditentukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing orang yang melangsungkan perkawinan.
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Menurut Prof. Dr. Hazairin, S.H. dalam bukunya Tinjauan Mengenai UU No.1 Tahun 1974 seperti dikutip K. Wantjik Saleh, S.H., dalam buku Hukum Perkawinan Indonesia menyatakan: “Bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hokum agamanya sendiri. Demikian jugan bagi orang agama Kristen dan bagi orang Hindu, Budha seperti dijumpai di Indonesia.
c. Asas Monogami
UUP menganut asas monogami hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari satu orang. Nmaun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
d. Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Yang dimaksud dengan hak ialah sesuatu yang merupakan milik atau dapat dimiliki oleh suami atau isteri yang timbul karena perkawinannya. Sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban ialah sesuatu yang harus dilakukan atau diadakan oleh suami atau isteri untuk memenuhi hak dan dari pihak yang lain.
Hak dan kewajibannya itu terdiri dari:
a. Kekuasaan marital dari suami
b. Wajib nafkah
c. Isteri mengikuti kewarganegaraan suaminya
d. Isteri mengikuti tempat tinggal suaminya
e. Isteri tidak cakap untuk bertindak
Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, maka masing-masing dapat menuntutnya terhadap pihak yang lain dengan cara mengajukan gugatan kepada pengadilan.Hak dan kewajiban suami isteri yang diatur dalam UUP pada dasarnya mengandung persamaan dengan hak dan kewajiban yang diatur dalam Hukum Islam.
e. Pencegahan Perkawinan
Perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan atau tidak memenuhi prosedur yang ditentukan.
Orang-orang yang dapat mencegah perkawinan adalah:
1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dank e bawah
dari salah seorang calon mempelai.
2) Saudara dari salah seorang calon mempelai.
3) Wali nikah dari salah seorang calon mempelai.
4) Wali dari salah seorang calon mempelai.
5) Pengampu dari salah seorang calon mempelai.
6) Pihak-pihak yang berkepentingan.
7) Suami/Isteri dari salah seorang calon mempelai.
8) Pejabat yang ditunjuk.
Pencegahan perkawinan dapat diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatatan Perkawinan. Kemudian Pegawai Pencatat Perkawinan memberitahukan tentang permohonan pencegahan perkawinan termaksud kepada calon mempelai.
Jadi, apabila Pegawai Pencatat Perkawinan berpendapat bahwa terhadap suatu perkawinan yang akan dilangsungkan ada larangan menurut undang-undang, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan tersebut. Penolakan terhadap permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan tersebut dituangkan dalam suatu Surat Keterangan yang disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
f. Pembatalan Perkawinan
Pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan: ”Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.
Permohonan pembatalan perkawinan hanya boleh diajukan oleh pihak yang berhak yang disebut dalam Pasal 23, 24, 26, dan 27 UU No, 1 Tahun 1974 yaitu:
1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami/isteri.
2) Suami/Isteri.
3) Pejabat yang berwenang.
4) Pejabat yang ditunjuk.
5) Jaksa.
6) Suami/Isteri dari yang melangsungkan perkawinan.
7) Orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung
terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
g. Putusnya Perkawinan
Sebab-sebab putusnya perkawinan:
1) Kematian
2) Perceraian
3) atas Keputusan Pengadilan.
2.1.5 Syarat-syarat Perkawinan
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 adalah sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 s.d 12 sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan kedua calon mempelai.
b. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun.
c. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan usia calon
mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun.
d. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam
hubungan darah/keluarga yang tidak boleh kawin.
e. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain.
f. Bagi suami isteri yang telah bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi
untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka kawin untuk
ketiga kalinya.
g. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang
janda.
Pasal 6 ayat 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan itu harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Syarat perkawinan ini memberikan jaminan agar tidak terjadi lagi adanya perkawinan paksa dalam masyarakat kita. Ketentuan tersebut sudah selayaknya mengingat masalah perkawinan sebenarnya merupakan urusan pribadi seseorang sebagai bagian daripada hak asasi manusia. Oleh karena itu, sudah seharusnya apabila urusan perkawinan ini lebih banyak diserahkan kepada keinginan masing-masing pribadi untuk menentukan pilihan sendiri siapa yang akan dijadikan kawan hidupnya dalam berumah tangga.
a. Pencatatan dan Tatacara Perkawinan Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat Perkawinan. Bagi yang beragama Islam ialah Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, sedangkan bagi yang bukan beragama Islam ialah Kantor Catatan Sipil atau Instansi/Pejabat yang membantunya.
b. Harta Benda dalam Perkawinan
Dalam Pasal 35 disebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan masing-masing suami isteri, serta harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiahn atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing, kecuali ditentukan lain yaitu dijadikan harta bersama. Mengenai harta bersama, suami maupun isteri dapat mempergunakannya dengan persetujuan kedua belah pihak, Sedangkan harta bawaan, suami atau isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk mempergunakan harta bawaannya masing-masing tanpa perlu persetujuan dari pihak lain.
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 ditentukan, apabila perkawinan putus,maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud hukumnya masing-masing itu adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya. Jadi, UUP tidak memberikan pengaturan tersendiri, melainkan menunjuk kepada hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lain yang berlaku bagi suami isteri yang bersangkutan. Sehingga pengaturannya seperti keadaan semula sebelum Undang-undang Perkawinan.
c. Kedudukan Anak
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam/ sebagai akibat perkawinan yang sah. Hal ini berarti bahwa anak yang lahir di luar perkawinan yang sah bukanlah anak yang sah. Ini membawa konsekuensi dalam bidang perwarisan. Sebab anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Asal usul anak Pasal 55 UUP menentukan:1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang autentik, yang
dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.
2) Bila akta kelahiran tersebut dalam ayat 1 pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat
mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan
yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
3) Atas dasar ketentuan pengadilan, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam
daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak
yang bersangkutan.
d. Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak
Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya samapi anak tersebut menikah atau dapat berdiri sendiri. Orang tua juga menguasai anaknya yang belum mencapai umur 18 tahun/belum pernah melangsungkan pernikahan Sebaliknya, seorang anak tidak hanya mempunyai hak terhadap orang tuanya, akan tetapi juga mempunyai kewajiban. Kewajiban anak yang utama terhadap orang tuanya adalah menghormati dan menaati kehendak yang baik dari orang tuanya. Dan jika anak tersebut telah dewasa, ia wajib memelihara orang tuanya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuannya.
e. Perwalian
Kewajiban-kewajiban seorang wali:
1)Wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan
harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama
dan kepercayaan anaknya itu.
2)Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah
kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat
semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.
3)Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di
bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena
kesalahannya atau kelalaiannya.
4)Wali tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-
barang tetap yang dimiliki anak yang berada di bawah
perwaliannya, kecuali apabila kepentingan anak itu
menghendakinya.
2.1.6 Perkawinan Campuran
Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 :
”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
a.Pengaturan anak dalam perkawinan campuran
Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan. Menarik untuk dikaji karena dengan kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada dua yurisdiksi hukum. Namun saat ini Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak mengikuti ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 :
“Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia, turut memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan.”
Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing :
1) Menjadi warganegara Indonesia
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warga negara asing dengan pria warganegara Indonesia (pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun 1958), maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya, kalaupun Ibu dapat memberikan kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Atau bila suami meninggal dunia dan anak anak masih dibawah umur tidak jelas apakah istri dapat menjadi wali bagi anak anak nya yang menjadi WNI di Indonesia. Bila suami (yang berstatus pegawai negeri)meningggal tidak jelas apakah istri (WNA) dapat memperoleh pensiun suami.
2) Menjadi warganegara asing
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warganegara Indonesia dengan warganegara asing. Anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga negara asing sehingga harus dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit bagi ibu untuk mengasuh anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 tahun 1958 dimungkinkan bagi seorang ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang masih di bawah umur dan berada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini sulit dilakukan.
Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958, hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah). Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang belum dewasa (belum berusia 18 tahun/ belum menikah) menjadi hilang (apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya).
2.1.7 Perkawinan Kontrak
Pengertian perkawinan kontrak atau biasa lebih dikenal dengan kawin kontrak adalah perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki dan wanita dalam jangka waktu tertentu yang terjadi atas dasar perjanjian, pernikahan ini akan berakhir dengan berakhirnya perjanjian yang telah dinsepakati.
Kawin kontrak ini merupakan tradisi pra-islam, dalam islam kawin kontrak ini disebut mut’ah, kawin komtrak ini memenfaatkan tubuh perempuan sebagai objek kenikmatan lelaki, namun dalam perkembangan islam yang mengalami dialetika sosial, politik dan budaya, kawin kontrak sendiri pernah diharamkan pada zaman Nabi MUHAMMAD SAW, lalu di syahkan kembali, sampai akhirnya diharamkan sampai sekarang, jadi ornag yang melakukan kawin kontrak hukumnya tidak sah secara agama.
Di indonesia kawin kontrak biasanya dilakukan oleh para wanita yang kekurangan materi, mereka melekukan kawin kontrak dengan imbalan dapat memenui kebutuhan hidup mereka dengan lebih baik lagi. Dalam perkawinan ini tidak ada perceraian, karena perkawinan akan berakhir dengan berakhirnya waktu yang telah disepakati.
a. Syarat kawin kontrak
1)Ijab kabul (ijab kabul pada kawin kontrak berbeda dengan ijab kabul pada perkawinan biasa, bedanya ada pada pembatasan waktu perkawinan dilaksanakan, dalam lafadz ijab kabul kawin kontrak, waktu berlakunya perkawinan harus disebutkan.
2)Mas kawin (mahar).
3)Penentuan masa waktu perkawinan yang telah disepakati kedua belah pihak.
2.1.8 Pernikahan Sirih
Definisi tentang pernikahan sirih atau juga dikenal dengan pernikahan bawah tangan adalah pernikhan yang dialkukan secara sembunyi-sembunyi dengan definisi lain, tidak disaksikan oleh orang banyak, pernikahan yg dipandang sah dari segi agama (Islam), namun tidak didaftarkan ke KUA (selaku lembaga perwakilan negara dalam bidang pernikahan) sehingga menjadi tidak sah di mata negara.Pernikahan inipun dilakukan tanpa kehadiran wali dari pihak perempuan (laki-laki TIDAK memerlukan wali pada saat pernikahan) , pernikahan ini mewajibkan adanya wali dari pihak perempuan, karena bila tidak ini akan dianggap perzinahan.
2.1.9 Pernikahan Beda Agama
Dalam pasal 2 UU Perkawinan No.1 Tahun 1974, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Artinya pihak yang akan kawin menganut agama yang sama. Jika kedua-duanya itu berlainan agama, menurut ketentuan dalam UU Perkawinan dan peraturan-peraturan pelaksananya, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali apabila salah satunya ikut menganut agama pihak lainnya itu.
Mengenai dapat atau tidak mewujudkan kehidupan rumah tangga, bila antara pria dan wanita imannya berbeda, dalam iman Kristiani, perikatan suami dan isteri harus seiman. Menyimpangi haram (Ulangan 7:3 jo Esra 9:12). Berbeda halnya dengan agama islam, tidak serta merta dilarang. Seorang muslimat dilarang menikah dengan yang non muslim. Sebaliknya seorang muslim (calon suami) tidak dilarang menikah dengan wanita ahli al Kitab. Tentang hal ini ada beda pendapat di antara ulama.
Mengenai dapat atau tidak mewujudkan kehidupan rumah tangga, bila antara pria dan wanita imannya berbeda, dalam iman Kristiani, perikatan suami dan isteri harus seiman. Menyimpangi haram (Ulangan 7:3 jo Esra 9:12). Berbeda halnya dengan agama islam, tidak serta merta dilarang. Seorang muslimat dilarang menikah dengan yang non muslim. Sebaliknya seorang muslim (calon suami) tidak dilarang menikah dengan wanita ahli al Kitab. Tentang hal ini ada beda pendapat di antara ulama.
BAB III
Analisis Pembahasan Kasus
3.1 Kasus 1. Kawin Kontrak di Desa Pelemkerep Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara.
Pada dasarnya di dalam Kasus ini adalah mengenai beberapa wanita yang menyalahgunakan perkawinan dengan melakukan kawin kontrak. Kawin kontrak yang terjadi di desa pelemkerep dilatar belakangi oleh keadaan ekonomi yang kurang mencukupi, pendidikan agam yang kurang dan kondisi masyarakat yang individualis, serta budaya materialisme yang memandang kesejahteraan hanya dari uang saja. Tujuan dari pelaksanaan kawin kontrak bagi pihak wanita adalah untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi diri dan keluarganya, sedangkan bagi pihak pria tujuan melaksanakan kawin kontrak adalah untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya secara aman. Proses pelaksanaan kawin kontrak diproses dengan ketentuan hukum agama Islam dengan bantuan seorang Kyai, dengan alasan prosesnya lebih mudah dan cepat. Walaupun perkawinan diproses sesuai hukum Islam, namun dalam membangun rumah tangga tidak menjiwai hukum Islam karena di dasarkan pada kontrak/perjanjian yang isinya sangat bertentangan dengan hukum Islam itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa kawin kontrak di desa Pelemkerep dilatar belakangi oleh alasan ekonomi, pendidikan, agama, sosial dan budaya, dengan tujuan memperoleh keuntungan ekonomi dan memenuhi kebutuhan biologis. Proses pelaksanaan kawin kontrak dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum agama Islam dengan bantuan seorang Kyai. Kawin kontrak diikat dengan sebuah perjanjian atau kontrak atau kesepakatan yang mengikat kedua belah pihak.
Saran yang disampaikan dalam penelitian ini adalah agar para Kyai membuat kesepakatan bersama dan berani menolak melangsungkan perkawinan sirri, karena perkawinan yang demikian tidak dicatat dan dapat dijadikan ajang pelaksanaan kawin kontrak, serta menyarankan agar calon pengantin melaksanakan perkawinan sesuai ketentuan UU No.1 Tahun 1974, namun apabila terpaksa melakukan perkawinan sirri hendaknya menanyakan apakah ada perjanjian perkawinan yang bertentangan dengan hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 . Saran yang kedua adalah agar diadakan penyuluhan tentang masalah perkawinan dengan meminta bantuan para tokoh agama atau tokoh masyarakat melalui kelompok pengajian atau perkumpulan.
3.2 Kasus 2. Pernikahan Siri Sebagai Legalisasi Seks
Pernikahan adalah suatu ikatan yang sakral antara laki-laki dan perempuan. Pernikahan di Indonesia dilakukan secara dua kali yaitu pernikahan secara agama dan secara sipil/ negara. Pernikahan siri adalah pernikahan yang hanya dilakukan secara agama tanpa mencatatkan pernikahannya pada lembaga pernikahan negara dapat juga disebut sebagai nikah bawah tangan. Pernikahan siri dilakukan seperti layaknya pernikahan biasanya, yaitu dengan seorang penghulu, wali dari kedua belah pihak, dan juga saksi dari kedua belah pihak juga hanya saja dalam pernikahan ini tidak ada surat nikah sebagai bukti pernikahan. Tetapi secara agama pernikahan ini boleh dilakukan dan hukumnya sah. Pernikahan siri tidak dapat disebut sebagai suatu perzinahan.
Banyak orang di Indonesia yang melakukan pernikahan siri dikarenakan berbagai alasan. Alasan pertama karena faktor ekonomi keluarga yang tidak mampu untuk membayar biaya pernikahan negara. Faktor yang kedua adalah masalah poligami, dimana biasanya dilakukan oleh seorang lelaki yang sudah mempunyai istri agar tidak diketahui istrinya bahwa mempunyai istri lagi dalam alasan ini pernikahan siri dapat dikatakan sebagai legalisasi perselingkuhan, kasus lain adalah seorang janda yang menikah lagi tapi tidak mau kehilangan uang pensiun dari suaminya yang dahulu. Faktor ketiga dikarenakan tidak mendapat restu orang tua dan mereka saling mencintai sehingga terpaksa nekad kawin lari dan jalan satu-satunya adalah nikah siri. Faktor keempat adalah legalisasi seks, dapat dikatakan demikian karena biasanya dilakukan oleh pasangan muda yang belum siap menikah secara negara karena tuntutan pekerjaan atau umur yang terlalu muda sedangkan kebutuhan biologis terburu mendesak. Faktor kelima adalah si perempuan telah hamil duluan dan tidak ingin dicap hamil di luar nikah.
Disarankan pernikahan ini tidak dilakukan karena banyak merugikan pihak wanita. Dimana wanita yang hamil setelah menikah siri biasanya dianggap hamil di luar nikah dan sering mendapatkan cemoohan tetapi tidak dapat dikatakan melakukan perzinahan karena sah secara agama, selain itu wanita tersebut dapat dikatakan sebagai istri tidak sah dan tidak dapat menuntut tanggung jawab, warisan dan hak sebagai seorang istri kepada suaminya.. Anak yang dihasilkan tidak akan mendapat akta kelahiran karena pernikahannya tidak sah secara negara dan dianggap sebagai anak di luar nikah. Dampak yang paling merugikan adalah apabila saksi, wali, dan naib/ penghulu sudah meninggal maka hubungan suami istri yang dijalankan dapat dikatakan hubungan perzinaan dan anaknya akan mendapat cemooh/ celaan dari orang lain karena nikah siri tidak memiliki bukti yang kuat. Sedangkan bagi pihak laki-laki tidak akan ada dampak yang merugikannya bila melakukan nikah siri. Dampak sosialnya adalah akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan bawah tangan sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo) atau anda dianggap menjadi istri simpanan.
Menurut saya, metode yang paling cocok digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei kualitatif. Karena dengan menggunakan metode survei kualitatif, kita bisa secara langsung mengamati segala kejadian yang ada di lapangan. Baik itu dilakukan dengan cara kuesioner dan wawancara langsung dengan pelakunya. Sehingga data yang diperoleh benar-benar akurat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya,sehingga tidak merugikan pihak manapun.
3.3 Kasus 3. Menguatkan Status Hukum Pernikahan Siri
Selasa (26/2) saya menyaksikan tayangan infotainment di salah satu stasiun tv swasta nasional. Ketika itu, selebriti yang disoroti adalah Machicha Mochtar yang mengharap pengakuan Moerdiyono (Mensegneg di era Orde Baru) sebagai bapak dari putranya. Anak dari hasil pernikahan siri mereka yang kini telah berusia 12 tahun. Kemudian saya pindah channel dan masih dalam program yang infotainment juga, saya menyimak kabar tentang Bambang Triatmojo (putra alm. Pak Harto) yang tak mau mencantumkan namanya sebagai ayah di atas akte kelahiran putri Mayangsari. Lagi-lagi kerena mereka ‘hanya' nikah siri.
Machicha dan Mayangsari hanyalah dua di antara banyak perempuan yang menjadi ‘korban' pernikahan siri. Mengapa korban? Karena dalam hal ini mereka sebagai obyek penderita. Terlepas dari motif atau tujuan mereka di balik pernikahan tersebut.
Saya melihat yang terjadi selama ini pernikahan siri terkesan hanya dianggap sebagai jalan pintas untuk melegalkan ‘hubungan' antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim, atau ekstremnya sebagai pelindung perzinaan. Jadi bukan dimaknai sebagai pernikahan yang sesungguhnya, dalam arti tidak ada kejelasan hak dan kewajiban dari pasangan nikah siri, seperti bagaimana status keturunan mereka, atau bagaimana penyelesaiannya bila hendak bercerai. Sejauh yang saya tahu, endingnya perempuan juga yang merana karena ditinggal suaminya kawin lagi atau hanya sebagai istri simpanan.
Pernikanan siri secara hukum Islam memang dinyatakan sah. Asal ada mempelai, penghulu, wali dan 2 saksi maka ijab qobul tetap diakui, meski tanpa hitam di atas putih. Hanya saja saya kurang setuju dan kadang merasa prihatin dengan para perempuan yang mau dinikah siri. Pasalnya, secara hukum Negara, status pernikahan mereka tidak diakui karena tidak ada bukti otentik hitam di atas putihnya. Belum lagi soal status perwalian anak-anak mereka, seperti yang dialami oleh 2 selebritis tersebut. Berdasarkan undang-undang yang berlaku di Negara ini, hak perwalian anak yang lahir atas pernikahan siri hanyalah pada ibu, atau single parent.
Menurut saya, hal tersebut terkesan tidak adil dan memihak pada salah satu saja. Padahal dalam pernikahan itu sesungguhnya peran suami tidak hanya wajib memberikan nafkah lahir batin , tetapi juga sebagai ayah dari putra-putri mereka. Jika memang pernikahan siri dinyatakan legal/ sah, pertanyaannya mengapa yang terjadi kemudian anak-anak mereka diakukan sebagai anak yang lahir di luar nikah?
Setahu saya dalam ajaran Islam, Allah dan Nabi Muhammad SAW sangat menghormati kedudukan perempuan sebagai istri dan anak-anak mereka. Di sana (dalam Al Qur'an dan Hadist) ada aturan yang jelas tentang hak dan kewajiban suami-istri, pengasuhan anak, pembagian harta waris, termasuk aturan perceraian. Namun pada kenyataannya lain, saat perempuan dan laki-laki bersepakat untuk menikah siri kemudian tertimpa masalah yang berujung pada perceraian, bisaanya mereka pisah sendiri-sendiri. Dalihnya, toh tidak ada hukum yang mengikat mereka, trus knapa? Jika seperti itu yang terjadi, di mana letak acuhan ajaran Islamnya, padahal pernikahan siri mengacu pada ajaran islam.
Berpangkal dari banyaknya permasalahan yang muncul akibat pernikahan siri, jadi terlintas dalam benak saya untuk menemukan solusi agar pernikahan siri juga bisa dipertanggungjawabkan di hadapan hukum Negara. Artinya, meskipun tidak tercatat secara legal di Kantor Urusan Agama (KUA), namun mereka tetap bisa mendapatkan payung hukum ketika menghadapi permasalahan pelik, semisal Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau pun perceraian. Tidak hanya perlindungan bagi perempuan, tetapi juga bagi laki-laki, sehingga tidak menguntungkan sepihak.
Solusinya adalah dengan membuat semacam surat pernyataan bermaterai bahwa mereka memang telah melakukan pernikahan siri. Formatnya bisa dibuat sedemikian rupa, yang terpenting harus ada tanda tangan dari kedua mempelai, penghulu dan juga saksi-saksinya. Cara ini sebagai langkah antisipasi untuk melindungi hak-hak mereka, sekaligus sebagai pengangganti akte nikah. Dengan begitu, jika suatu saat terjadi masalah tidak perlu risau lagi, karena ada bukti yang bisa dijadikan sebagai ‘payung' perlindungan bagi mereka. Jalan ini cukup baik untuk menguatkan status hukum pernikahan siri.
0 comments:
Posting Komentar